CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 06 Oktober 2013

Melodi Drama


by : Prima Yunita Cahyaningtyas
“Tuhan, kenapa kau berikan cobaan ini padaku. Kenapa ini begitu menyakitkan, kenapa semuanya pergi dari hidupku. Aku benar – benar ingin kembali ke kehidupanku yang dulu tuhan, kenapa aku begitu menyedihkan. Bahkan tak satu orangpun yang menyukai diriku.” Teriak seorang gadis dengan mata berapi – api. Menatap sungai di bawahnya dengan tatapan yang tajam, suaranya bergema menambah keributan yang di alunkan oleh percikan air. Kedua tanganya mencengkram pagar jembatan, air matanya menetes membasahi pipinya.

“Karlos (semakian melantang kan suaranya) kenapa kamu pergi, apa karena aku terlalu jahat dan tak pernah perduli sama kamu ? Kenpa kamu pergi untuk selama – lamanya. Di sini aku tak punya teman, satu tahun tanpa dirimu aku bisa terima namun ahir – ahir ini aku tak bisa melakukan apa pun. Semuanya menghilang. Aku tak punya apapun dan aku hanya bisa menangis. Teman – teman lamaku pergi unuk meanjutkan hidupnya dan aku berharap begitu juga, namuan saat aku menjalaninya aku tak bisa mendapatkan kebahagiaan. Senyumpun tak pernah, tak bisa apa lagi kebahagiaan. Karlos (air matanya menetes semakian deras dan tetap menatap sungai tanpa mengalihkan pandangan, matanya tertuju pada aliran sungai) apakah aku benar – benar harus mengahiri nyawaku sekarang juga ? Setiap aku di sakiti aku selalu berpikir untuk mengahiri nyawaku di sini, di sungai ini, di tempat ini, di aliran sungai ini. Aku telah begitu sabar untuk menerima semuanya, tapi kenapa semuanya begitu jahat padaku. Kenapa ? Kenpa karlos ?”
Tanpa ragu dan rasa takut, gadis itu memanjat pagar sungai, badanya penuh dengan keringat dingin mengguyur tubuhnya. Walau tangan dan kakinya gemetar namuan tak ada rasa takut dalam dirinya, bahkan keputusanya untuk mengahiri nyawanya merupakan keputusan yang tepat baginya saat itu. Semua yang dia alami benar – benar tragis, kehidupan di sekolahnya yang baru membuatnya frustasi. Dia tak memiliki teman karena dia tak ingin mengikuiti teman – temanya yang suka mencontek saat UTS bahkan setiap saat ada tes. Bahkan setiap hari dia harus menahan tekanan batin yang teman – temanya berikan padanya. Tak jarang dia menangis di kamar mandi karena hal tersebut. Dia selalu di sengak, di sindir, dan bahkan di perlakukan tak sewajarnya.
Gadis tersebut memejamkan matanya dan masih mencengkram pagar yang terbuat dari besi dengan kedua tanganya. Di dalam hatinya berdoa, perlahan – lahan dia melepaskan peganganya seperti akting seseorang yang bermain film, mengahiri nyawanya di sungai atau mengahiri nyawanya di jalan kereta. Gadis itu merasakan angin sepoi – sepoi membeli rambutnya, kepalanya terasa ringan seperti terbang. Namuan terasa ada yang memegang pergelangan tangan kanannya, secara raflek dia membuka matanya.
“Lepaskan tanganku, kau dengar, lepaskan !” Gadis itu menangis semakin keras dan bahkan tak begitu perduli dengan laki – laki yang merasa berat memegang tanganya. “Kau gila ya, mengahiri nyawamu di tempat seperti ini. Kalau kamu berani , coba aja dari lantau 5 di gedung – gedung yang tingginya lebih dari 1000 kaki. Berani nggak kamu ?” sambil mengerutkan dahinya pertanda tak kuat lagi menahan gadis yang mencoba bunuh diri tersebut. “Aku akan membantumu naik, ayo cepat. Kau itu berat sekali, kamu makan batu ya setiap hari ? “
“Aku tak peduli, hanya ini jalan satu – satunya yang bisa aku lakuakan, untuk membuat diriku lebih baik.” Kata gadis itu dengan air mata yang berlinang. “Kau bisa bercerita padaku, semuanya. Aku akan meluangkan sedikit waktuku untuk mendengarkan ceritamu.” Keringat dingin mulai bercucuran membasahi bajunya. Langit seakan – akan ikut merasakan kesedihan yang di alamai gadis itu. Bahkan awan tak tak berani menampakan wajahnya yang biru terang, aliran air semakin deras dari arah hulu sungai. Pertanda langit ikut menangis walau tak memperlihatkan di depan mata sang gadis. Hari semakin surut, matahari tak menampakan keperkasaanya, walau bulan belum menyinari sanga malam, namuan senja di sore hari terlihat begitu mengerikan.
“Apa aku mengenalmu? Apa kamu mengenalku ? Sehingga kamu begitu baik padaku ? Apakah aku terlihat begitu menyedihkan bagimu ? Seperti seorang pecundang yang tak  bisa melakukan apapun  dan ahirnya mengahiri nyawanya seperti ini.”
“Apakah aku mengenalmu, itu bukanlah hal yang begitu penting untuk di bicarakan. Yang terpenting sekarang adalah, kamu mau tetap hidup atau memilih mati seperti ini ? Aku benar – benar sudah tidak kuat untuk menopang dirimu. Kau itu begitu berat, tau nggak ?” Gadis itu hanya diam dan mengulurkan tangan kirinya. Sehingga laki – laki itu bisa menariknya ke atas. Gadis itu masih terlihat syok dan terus menangis. Wajahnya terlihat begitu pucat, tatapan yang sayu tergambar di matanya. Dia duduk tersimpuh dengan menekuk kedua lututnya. “Kau itu benar – benar menyedihkan. Banyak hal yang lebih baik dari pada bunuh diri seperti ini kau tau ?” Gadis itu masih terdiam, tak berani menatap laki – laki yang barusan menyelamatknya itu.”Kau itu bodoh atau tuli hak ? Dari tadi aku bicara kamu nggak ada respon.”
“Kenapa kamu nolong aku ?” masih dengan tatapan yang sayu namuan air matanya sudah berhenti mengalir sejak beberapa detik yang lalu. “Aku cuman nggak mau aja lihat orang mati di depaku.” Memalingkan pandangannya ke atas. “Kenapa kamu bisa ada di sini ?”
“ Yah aku udah ada di sini dari tadi, yah maksutku waktu kamu teriak – teriak nama pacar kamu, sipa itu ? Ummmm, 'karlos' bener nggak ?” logatnya berubah seketika, seperti orang yang tidak bersalah, tanpa dosa yang mengikutinya. “Dia bukan pacar aku, tapi dia saabatku yang selalu aku sia – siakan hidunya. Dia begitu sayang, perhatian, dan nggak pernah marah sama aku. Dia selalu ada buat aku, tapi aku begitu” menangis begitu deras sampai tak sadar hari mulai malam.”Ohya sampai lupa, namaku Gesit Mulyawan, panggil aja aku Gesit yah biar agak keren.an dikit sih, tapi di rumah aku di panggil Mula. Kalau kamu ?” Tersenyum semanis mungkin kepada gadis tersebut. “Aku, namaku sangat terkenal, dan aku sangat mahal. Aku tak sembarangan di jual. Namaku bahasa latin dari Kerang Mutiara. Tau ?” Dia tersenyum dan menghapus air matanya yang masih mengalir.
“Kerang Mutiara ?” Kata Gesit. “Emm” menganggukkan kepalanya. Dengan teringkakak – ringkak dia bangun dari duduknya. “Maksutmu 'Meleagrina Margaretifera' ?”. “Iya kenapa ? Lucu ?” dengn nada yang sedikit aneh. Gesit hanya tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya pelan. “Yah kamu bisa panggil aku dengan nama Agrina !”
Gesit tertawa terbahak – bahak melihat ekspresi Agrina yang mendadak berubah dari menangi yang begitu mendalam, dalam beberapa menit bisa pulih seperti orang yang tidak memeiliki masalah apapun. “Kenapa apakah nama itu begitu lucu ?” menatap Gesit dengan aneh.
“Bukan karena nama kamu lucu, tapi karena ekspresimu dari sedih mendadak ceria seperti pelangi di malam hari. Hahahahaha.” sambil terus tertawa. “Sebenarnya kamu itu siapa ? Kenapa kamu mau nolongin aku dan kenapa suasana hati aku jadi lebih baik dari sebelumnya, aku rasa kamu bukan lah orang yang familiar buat aku. Tapi siapa kamu.” Agrina bicara dengan tempo yang begitu cepat, seakan – akan tak ada jeda, koma dan titik. “Biklah, aku mengaku. Apakah kamu masih ingat dengan kasus pembunuhan yang ditangani oleh Mr. Hercule Poirot, saat kamu berada di pengadilan menemani pamanmu menjadi penyidik dan mengawasi jalanya persidangan.” Katanya penuh letih di mukanya. “Samar – samar aku mengingatnya.” sambil mengingat – ingat kejadian 11 tahun yang lalu saat Agrina berusia 4 tahun. Dan kasus pembunuhan berantai oleh sekelompok orang sampai mencemerkan nama baik pamanya yang bekerja sebagai seorang jaksa.
“Apakah kamu mengenali seorang gadis yang menjadi tersangaka, kasus pembunuhan tersebut hingga dia mati, tak bersalah karena tuduhan 'five little pigs' itu ?” Dengan nada tinggi setengah marah. “Oh aku mengingatnya. Maksutmu Miss Clara, yang membunuh suaminya Mr Amyas, bukan begitu ?” katanya agak gugup melihat ekspresi Gesit yang berubah menjadi begitu menyeramkan. “Tapi, apa yang kamu maksut dengan five little pigs itu, aku tak begitu tau walau aku banyak mendengar kasus itu tapi, di usiaku yang masih kecil tersebut tak mungkin aku memperdulikannya bahkan walau aku mendengar sesuatu yang penting, aku akan berusaha menghapusnya dari pikiranku.” Kata Agrina terputus – putus.
“Sudahlah sebaiknya kau pulang. Jangan pernah lakukan perbuatan keji ini, aku akan menjadi temanmu. Kau mengerti ?” Agrina hanya mengangguk dan mebalikkan badan dari Gesit, dia berjalan sambil mengingat – ingat tentang kasus 11 tahun yang lalu.

0 komentar:

Posting Komentar